Kamis, 18 Desember 2008

UANG IDR


Pertengahan tahun 2005, 5 anggota Badan Intelijen Negara (BIN) tersangkut kasus uang palsu. Menariknya, salah satu tersangkanya adalah bekas Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu BIN, Brigjen (Purn) Zyaeri.

Dalam persidangan yang digelar saat itu terungkap, Zyaeri Bersama 4 anak buahnya, Muhammad Iskandar, Harianto, Zaelani dan Woro Narus Saptoro kedapatan membuat dan memalsukan uang negara dan pita cukai. Dalam aksinya, para pelaku telah mencetak uang pecahan Rp 100.000 sebanyak 2.267 lembar senilai Rp 230 juta.

Keterlibatan aparat intelijen dalam kasus uang palsu (upal) jelas mengejutkan. Karena mereka punya akses, kemahiran dan jaringan. Itu sebabnya, pengamat intelijen Wawan Purwanto berharap, polisi bisa cepat mengantisipasi dengan mengawasi kelompok-kelompok yang pernah tertangkap dalam kasus upal.

"Pelakunya biasanya kelompok itu-itu juga. Dan mereka sudah pengalaman dalam membuat blue print. Selain itu mereka juga punya jaringan untuk mengedarkannya. Kalau pendatang baru jelas akan sangat kesulitan, " jelas Wawan kepada detiK

Namun sebuah sumber di Mabes Polri menyebutkan, sebenarnya yang marak sejak tahun 2000 an bukan masalah uang, bukan kasus peredaran upal, melainkan kasus penipuan yang berkedok mata uang IDR. Hanya saja kasus penipuan ini banyak yang diberitakan media sebagai kasus upal.

Sumber tersebut mencontohkan, kasus dollar hitam. Para pelaku umumnya WNA dari Afrika. Adapun modusnya dengan menawarkan kepada korban tumpukan kertas sewarna dengan dollar, yang harus diproses secara kimia, dengan cairan khusus.

Korban menjadi tertarik, karena hasil proses kimia tersebut menghasilkan uang dollar pecahan 100 dollar, dan bisa dibelanjakan atau ditukar di money changer. Namun ketika korban sudah membeli peralatan tersebut dengan jumlah dana yang besar, korban ternyata hanya mendapat tumpukan kertas dan beberapa dollar palsu. "Namun di media diberitakan sebagai kasus upal dengan jumlah miliaran," jelas sumber tersebut.

Ada juga kasus penipuan dengan pola penukaran seperti dalam transaksi upal, yakni 1 banding 2. Padahal upal yang ditransaksikan hanya beberapa lembar pecahan Rp 100.000 yang diletakkan di atas gepokan kertas-kertas putih. Menurut sumber tersebut, penipuan-penipuan semacam ini yang justru sedang marak.

Tapi diakuinya, umumnya para korban jarang yang mau melapor ke polisi. Karena mereka umumnya orang kaya atau pejabat pusat maupunh daerah. "Mereka malu telah tertipu. Pingin dapat uang banyak malah kecele," jelas sumber yang mengaku telah memantau aksi penipuan semacam ini sejak tahun 1990-an.

Dalam kasus seperti ini, para komplotan penipu biasannya menyebut-nyebutnya sebagai IDR. Tapi bukan yang berarti Indonesia Rupiah. Melainkan IDR dengan singkatan tertentu. Ada beberapa versi singkatan IDR, selain singkatan rupiah.

Versi pertama adalah Investment Dynasty Reserve. Artinya, uang rupiah atau harta peninggalan dari simpanan raja raja zaman dahulu. Uang simpanan tersebut konon sebagai dana cadangan rakyat lndonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan dan perdamaian dunia. IDR tersebut disebut-sebut disimpan di bank Swiss, dan hanya boleh diambil oleh ahli warisnya.

Versi kedua, IDR ini juga singkatan dari Invest Deposit Realization, yaitu semua harta kekayaan yang tersimpan di luar negara swiss, seperti dalam bunker atau tempat lainnya. Sama dengan yang pertama, untuk mencairkannya harus oleh ahli waris atau orang yang ditunjuk yang didukung oleh bukti dokumen resmi, yang seolah-olah diterbitkan oleh pemerintah.

Versi uang IDR lainnya, adalah uang merah atau uang polymer pecahan Rp 100.000 yang diterbitkan tahun 1999. Uang merah jenis ini kabarnya mencapai triliunan rupiah. Uang itu belum bisa beredar karena belum diregister oleh Bank lndonesia.

Nah versi yang terakhir inilah yang sejak tahun 2000, sering dilakukan para penipu. Mereka berupaya meyakinkan calon korban bahwa mereka memiliki uang IDR asli yang belum edar. Biasanya, para pelaku mengatakan, uang IDR itu tersimpan di peti khusus dari almunium, dan setiap gepokan uang IDR sejumlah 10 jutaan, tersusun dalam jumlah 100 jutaan, serta dibungkus plastik yang berlogo kanguru.

Pelaku kemudian meyakinkan bahwa uang itu adalah asli dari percetakan di Australia, yang belum sempat diedarkan. Untuk lebih meyakinkan lagi, pelaku juga mengaku bahwa uang tersebut adalah milik para pejabat di era presiden Suharto, dimana uang tersebut belum diedarkan karena belum ada perintah dari Pak Harto.

Uang pecahan Rp 100.000 ribu polymer (plastik) memang dicetak di Australia dan Thailand. Tetapi karena mutu cetakan uang yang berasal dari Thailand kurang bagus, maka uang yang berseri AAA itu kemudian ditarik dari peredaran. Jadi uang polymer pecahan Rp 100.000 yang saat ini masih beredar adalah hasil cetakan Australia.

Untuk meyakinkan calon korban, pelaku sengaja memilih lokasi yang strategis untuk pertemuan. Misalnya di depan rumah mantan penguasa orde baru Soeharto, gedung bundar Kejaksaan Agung, bank swasta atau bank pemerintah, tempat parkir gedung pemerintahan, serta hotel berbintang.

Para pelaku biasanya berjumlah 3 - 5 orang dan masing masing pelaku punya peran yang berbeda. Ada yang mengaku ajudan Jenderal, PNS, atau utusan pejabat lainnya.

Dalam pertemuan itu korban diminta untuk membawa uang pengganti yang nilainya ratusan bahkan miliaran rupiah. Para pelaku beralasan, uang itu sebagai pembuka sistem di perbankan untuk mengeluarkan uang jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Namun, setelah korban bertemu dengan pelaku, tiba-tiba pelaku mengubah tempat atau bank yang ditunjuk sebelumnya. Dengan lihainya pelaku masuk ke bank dan tak lama kemudian muncul pelaku lainnya sambil membawa peti yang diakuinya berisi uang IDR.

Pelaku umumnya tidak sempat membuka peti itu di hadapan pelaku karena ditakut-takuti bakal tertangkap polisi bila ketahuan. Kata pelaku, sekalipun uang itu asli, namun belum resmi untuk beredar. Akhirnya korban bergegas meninggalkan lokasi pengambilan uang dengan membawa peti berisi kertas yang menyerupai uang pecahan 100 ribuan polymer.

Diakui sumber tersebut, penipuan model ini yang diperkirakan marak menjelang pemilu. Dan yang jadi korban adalah orang-orang partai atau caleg yang butuh uang dalam jumlah besar. Mereka akan menjadi incaran para penipu uang IDR
sumber : detik.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda